Labels

Monday, September 4, 2023

i not stupid (2002): pesan moral dunia pendidikan Singapura

 


Kali ini saya akan membahas film Singapura lama, lama banget malahan karena rilis tahun 2002, tapi film ini bagus sih. Sewaktu pertama membaca judulnya, saya mengira bahwa ini salah judul  karena susunan kalimatnya I Not Stupid, padahal dalam pengetahuan saya adalah I am Not Stupid. Tapi ternyata memang seperti itu, dan itu juga berkaitan dengan bahasa Inggris yang ada di Singapura sepertinya. Film ini merupakan film keluarga tapi begitu banyak yang bisa kita kritisi berkaitan dengan kehidupan Masyarakat sosial di Singapura. Sudah lebih dari 5 kali saya menonton film ini tapi tidak bosan sih. Dan film ini sebenarnya ada part 2 nya saat tokoh-tokohnya sudah dewasa tapi saya sudah lupa deh.

Saya akan bahas mengenai sistem pendidikan, karena memang sesuai judulnya, film ini membahas tiga anak yang dianggap bodoh yaitu Boon Hock, Kok Pin, dan Terry. Mereka berada di kelas EM3. Sekadar info, bahwa sistem jenjang di Singapura (pada masa itu, karena saya tidak tahu ya sekarang seperti apa) terbagi menjadi tiga level, yaitu EM1 untuk yang paling tinggi, EM2, EM3 untuk yang paling rendah.jadi bisa dibayangkan bahwa ketiga anak ini bukan anak yang pintar. Standar pandai di Singapura saat itu adalah harus menguasai Matematika dan Bahasa Inggris. Sehebat apapun kamu di bidang lain, jika kamu tidak menguasai dua bidang ini maka kamu dianggap bodoh.

Tekanan sosial di Singapura begitu tinggi. Anak-anak saling bersaing untuk bisa mendapatkan nilai yang baik di kedua mata Pelajaran tadi. Jika nilai rendah, siap-siap akan diremehkan walau itu oleh sepupu sendiri. Hal ini terjadi pada Boon Hock yang diremehkan oleh sepupunya yang merupakan siswa EM1. Seberapun yang dia dapat (nilainya 78 ) maka sepupunya akan datang untuk membuli dan merendahkannya bahwa nilai 78 merupakan nilai terendah di level EM1. Orang tua akan berusaha mati-matian untuk bisa mendidik anak dengan baik. Hal yang tidak terkecuali dilakukan oleh ibu Kok Pin yang sampai harus keluar dari pekerjaan demi fokus mengajari anaknya belajar untuk mendapatkan nilai yang baik.

Cara mendidik anak di Singapura juga merupakan stereotip sekali untuk orang tua zaman dulu, mereka menggunakan kekerasan dengan pemikiran anak-anak akan menjadi termotivasi berusaha lebih keras supaya tidak mendapatkan kekerasan fisik dari orang tua mereka. Hmmmm, jadi teringat zaman dulu bagaimana sodara saya begitu keras dan sampai judekk (apa ya bahasa indonesianya, bosen kali ya) mengajari dan geregetan waktu mengajari saya masih kecil. Bukannya bisa memahami apa yang diajarkan tapi makin stress dan rasanya ingin nangis karena benar-benar tidak mampu berpikir lagi apa yang sudah diajarkan. Hal yang sama juga terjadi ada Kok Pin yang benar-benar tidak mampu menangkap apa yang sudah diajarkan oleh ibunya, walau dipukul berkali-kali tetap tidak memberi efek.

Sementara itu, ayah dari Terry yang bernama jerry sendiri selalu kuatir akan Nasib anaknya Terry akan seperti ibu dan kakaknya, Selena yang tidak bisa berbahasa mandarin dengan baik. Mereka berdua selalu berbicara bahasa inggris setiap waktu. Bahkan dalam Pelajaran bahasa Mandarin, Selena menjawab dengan menggunakan bahasa English karena menurutnya belajar bahasa mandarin tidak penting. Terpenting bagi siswa adalah menguasai bahasa inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. APakah seperti itu? Jelas saja tidak. guru yang mengajar menjelaskan bahwa mereka orang Chinese, maka penting sekali mereka menguasai bahasa China, karena dengan menguasai bahasa ibu mereka, maka mereka dapat mengenali diri mereka sendiri. Hal yang mungkin tidak begitu dipahami oleh anak-anak sekolah usia 12 SMP. Makanya Terry diajari langsung oleh tantenya yang dari Taiwan sehingga dia bisa bahasa mandarin dengan fasih.

Pemerintah Singapura sendiri begitu kuatir jika masyarakatnya lebih menguasai Singlish daripada bahasa inggris asli. Hal ini terlihat dari percakapan di kantornya ayah Kok Pin. Hmmm, setahuku sih, Singlish ini merupakan bahasa inggris versi Singapura dan digunakan untuk percakapan non formal sehari-hari. Cuma dari adegan tersebut, aku memahami bahwa Singapura sangat ingin rakyatnya bisa berbahasa inggris dengan baik untuk kegiatan formal, dan posisi Singlish harus di nomor dua dibandingkan Inggris yang asli.

Tekanan yang tinggi di dunia pendidikan membuat angka stress sangat tinggi. Kita sudah memahami betapa tingginya angka bunuh diri pelajar di Korea dan Jepang karena sistem pendidikan mereka. Film ini juga membahas tersebut dimana Kok Pin yang sudah stress karena mendapat nilai buruk berniat untuk bunuh diri setelah melihat kasus tv seorang anak yang bunuh diri karena diduga stress akibat nilai yang selalu rendah. Hmmm mungkin hal ini tidak terlalu relevan di Indonesia sih, tapi di negara-negara yang sangat berharap pada kualitas SDM namun rendah SDA seperti Singapura, Korea, maupun Jepang, hal ini mememberikan efek yang sangat besar.

Mari kita lihat korelasinya dengan nilai PISA yang dikeluarkan setiap tiga tahun sekali. Apa sih PISA itu? Jadi PISA ini merupakan lembaga internasional yang menilai siswa usia 15 tahun dalam tiga hal yaitu matematika, sains dan reading. Semakin tinggi nilainya maka standar pendidikan di negara tersebut sesuai dengan kebutuhan pasar internasional. Dan sejak tahun 2015, Singapura selalu masuk 5 besar negara peringkat teratas sementara indonesia jauh ada di bawah dengan kisaran di peringkat 60an tergantung tahun penyelenggaraannya. Artinya, Singapura sangat menekankan matematika dalam pendidikannya untuk bisa menghasilkan lulusan yang terbaik dan mampu menjawab tantangan global.

Tentu ada sisi positif dan negative dari tekanan yang besar seperti itu bagi negara indonesia yang kaya akan sumber daya manusia, pasti menjawab hal ini kok dibesar-besarkan. Kalau tidak mampu ya sudah, itu bukan bidangnya. Namun, bagi negara- kecil yang miskin SDA maka mereka harus memiliki SDM yang unggul agar bisa bersaing dengan negara-negara tetangga yang jauh lebih besar dan lebih kaya SDA. Posisi geografis Singapura yang kecil diapit oleh dua negara raksasa kaya raya baik secara jumlah penduduk maupun kekayaan SDA, yaitu Malaysia dan Indonesia.

Walau begitu, Film ini juga menyoroti bahwa pendidikan tidak bisa hanya sekadar penilaian dari Bahasa Inggris dan Matematika. Hal ini terlihat dari Ms Lee yang melihat potensi Kok Pin dalam bidang melukis. Walau awalnya dianggap remah dan tidak penting oleh ibunya, namun kemampuan melukis Kok Pin di akhir film ini juga lah yang mampu membantu polisi dalam menangkap penjahat. Tentu terasa muluk-muluk dan lebai, apalagi di endingnya Kok Pin juga mampu menjadi juara 2 melukis tingkat internasional level anak SD. Namun, penekanannya memang bukan ke juara atau mampu menangkap penjahat yang menculik kedua temannya, tapi penghargaan akan mata Pelajaran lain yang dianggap sebelah mata oleh banyak orang.

Hal ini sangat terlihat pada adegan ayah Kok pin sedang melakukan survei pasar di sebuah Salon, dimana pemilik salon yang juga tukang salonnya tidak memiliki gelar sehingga tidak bisa masuk sekolah/ universitas. Sang pemilik salon menceritakan dirinya yang kemudian mengambil semacam kursus yang disebut ITE untuk memiliki keterampilan dalam hal dunia salon. Masyarakat awam menyebut ITE sebagai it’s the end (padahal kepanjangannya adalah informasi teknologi). Pemilik salon menegaskan, selama seseorang memiliki keterampilan, maka dia tetap akan bisa sukses dalam hidupnya asalkan bekerja keras seperti yang sudah dilakukan orang-orang Singapura.

Kritik tentang pendidikan ini menurutku sangat mengena sih, realita namun kita tidak mampu lepas dari hal tersebut. Lanjut ke part 2 ya.

No comments:

Post a Comment