Labels

Sunday, March 11, 2018

mengetuk rasa kedaerahan di Film Yo Wis Ben



Mengetuk rasa kedaerahan di Yo Wis Ben
 
Film Yow Wis Ben memang sudah beredar kurang lebih 14 hari sejak premiernya tanggal 22 februari. Kebetulan saya sudah melihat filmnya enam hari sesudah premiernya. Penontonnya sangat ramai walau sudah hampir seminggu penayangannya. Saya pikir memang film ini pasti bagus banget, sesuai ekspektasi saya. 

Dan, ternyata, …. Ya cukup bagus. Kalau jelek ya tidak, kalau bagus banget juga tidak, ini masalah selera . tapi saya berpikir setelah nonton film ini, salah satu daya jual utama film ini adalah penggunaan Bahasa Jawa yang sangat dominan. Bagi saya pribadi, ada unsur kedaerahan saat melihat film itu berbahasa Jawa, maka saya ingin melihat film itu, dengan bahasa yang biasa saya gunakan sehari hari. Apalagi saya berdomisili di Jawa Timur, terkhusus Surabaya, dan saya juga pernah tinggal di Malang, maka ada unsur romantisme masa lalu yang saya ingin kenang dengan melihat film ini. Boleh kan melihat film nasional dengan bahasa local ,setelah tiap film yang ditonton selalu berbahasa Indonesia dan terbiasa menggunakan kata elu gue, padahal itu hanya khas di kawasan JABODETABEK semata.


Bagi saya film ini tidak murni menggunakan Bahasa Jawa khas jawa timuran, masih ada Bahasa Jawa yang biasa digunakan Jawa Tengah atau bahasa arek Mataraman(kawasan Jawa Timur yang masih terpengaruh budaya Solo), misalnya penggunaan kata kowe untuk menunjukkan kata kamu, di Surabaya saya terbiasa menggunakan kata Kon, atau awakmu, saya hampir tidak pernah mendengar kata kowe. Bahkan saya masih ingat dulu ketika saya baru awal datang ke Surabaya bahasa saya kentara sekali kalau saya berasal dari Jawa Tengah terkhusus Solo. Dan setiap saya menyebut murid dengan kata kowe, semua pada ketawa karena merasa aneh dengan istilah itu. Tapi itu wajar saja bagi sutradara , karena pangsa pasar film ini bukan sekedar orang jawa timur terkhusus pengguna bahasa jawa  , termasuk Jawa Tengah dan Yogyakarta, maka proses percampuran itu perlu agar lebih dipahami dan diterima. 

Saya rasa target Bayu Skak selaku sutradara  agar filmnya ditonton 500 ribu orang bakal terlaksana (dan memang sudah terlaksana) mengingat hampir setengah penduduk Indonesia adalah orang Jawa. Belum lagi posisi Bayu Skak sebagai youtuber dengan jumlah pengikut mencapai 1,2 juta. Tentu saja ini menjadi magnet besar . selain Bayu Skak , film ini juga memasang Brandon Salim dan beberapa artis ibukota. Itu merupakan langkah bagus agar orang diluar Jawa Timur tahu ada film nasional berbahasa local dengan menggandeng actor/aktris ibukota yang sudah menasional. Adanya Cak Kartolo dan Cak Sapari sukses memancing tertawa penonton. Bagi orang luar Jawa Timur (jatim) mungkin kurang mengenal dua tokoh ini, tapi bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya serta Jatim umumnya, pasti tidak asing dengan dua tokoh seni ini, dan ini juga makin menjadi penduduk Jatim untuk menonton film ini.

Jalan ceritanya sendiri tentang Bayu  yang menyukai Susan dan kemudan membentuk band yang beranggotakan Doni, Yayan, Nando dimana setiap personel band memiliki latar belakang sendiri kenapa ingin ikut dalam band tersebut. Dan  band yang semula tenar di yutube kemudian berkembang di dunia nyata, namun kehadiran Susan membuat band ini mengalami perpecahan. Saat harus memilih, siapakah yang harus diperjuangkan , antara cinta atau persahabatan? Itulah tema utama film ini.

Pemilihan pemain sih menurut saya secara penampilan ada yang terlalu tua untuk pemainnya, misalnya saja seperti Bayu, Yayan, terlalu tua untuk menjadi seorang anak SMA. Tapi mengingat ini proyek pertama, ok lah masih bisa di terima. Setting filmnya benar benar bikin kangen, melihat Malang, Kampung warna warni, kawasan wisata Batu, atau juga Sekolah Dempo. Yup, sekolah yang digunakan adalah sekolah tempat saya pernah mengajar dulu, jadi ada nostalgia dan rindu saja melihat sekolahnya. Hehehehe, saya pikir mungkin banyak orang yang tempat tempat dia memiliki kesan baik dibuat sebagai seting juga bakalan baper, wkwkwkwkkwkw. Biar bagaimanapun, dengan mengangkat film  dengan setting Batu yang memiliki banyak tempat wisata, maka (sangat diharapkan) kawasan wisata tersebut juga makin terkenal secara nasional. Bukankah cara yang sama pernah terjadi kala film 5 Cm, dimana setelah film itu booming, maka kawasan Semeru langsung menjadi tujuan wisata yang lebih terkenal daripada sebelumnya (lengkap dengan masalah sampah yang tiba tiba jadi menggunung dan sempat menjadi viral kala itu , hehehe)

Kalau hanya melihat trailer, dengan segera orang akan langsung teringat film suckeed, saya pun jujur langsung teringat film dari Thailand itu, walau sudah lupa sih jalan ceritanya seperti apa, tapi saya berpikir, film tidak mungkin 100 persen sama. Selalu ada yang khas dari sebuah film, layaknya suatu kehidupan social, maka berlaku prinsip ATM, yaitu Amati, Tiru, Modifikasi, maka saya pikir film ini juga dibuat (mungkin) terinspirasi dari film luar tapi diolah menjadi film dengan citarasa local, jadi sih akhirnya saya tidak ambil pusing kalau film ini misalnya dianggap orang terlalu meniru film sesuatu, setidaknya Bayu sudah mencoba untuk membuat suatu karya, suatu karya sudah dicoba diberikan ke berbagai perusahaan namun selalu mengalami kegagalan, baru bisa terkoneksi dengan satu PH milik Parwez Servia. Lagu film ini yang tentang mangan pecel juga saya merasa ada pengaruh dari lagu lagu Thailand, terkhusus music dari suckseed itu sendiri . 

Lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya, film ini setidaknya mencoba hadir dengan gaya  dan bahasa yang berbeda untuk menjadi warna di perfilman nasional, dan cukup berhasil kalau bagi saya.semoga setelah ini , muncul karya karya lain yang juga menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa utama, bukan Cuma tempelan tempelan semata. Sukses buat Bayu , ditunggu film film selanjutnya (semoga masih berbahasa jawa juga, hehehe)!

No comments:

Post a Comment