Judul buku :
Sriwijaya
Pengarang :
Slamet Muljana
Penerbit :
Lkis Yogyakarta
Tahun terbit :
Cetakan 1 Februari 2006
Tebal halaman :
306 halaman
Buku ini memang berjudul Sriwijaya,
tapi di dalamnya tidak sekedar menceritakan tentang Sriwijaya namun juga
wilayah wilayah lain yang terkait dengan Sriwijaya. Saya tertarik membaca buku
ini juga karena kebetulan saya mngajar materi tentang Sriwijaya sehingga saya
tertrik dengan judulnya. Awalnya saya akan membaca sejarah Sriwijaya secara
runtut, ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Buku ini berisi tentang
sriwijaya dari berbagai pendapat para ahli yang saling bertentangan, jadi tidak
pendapat umum seperti layaknya buku pelajaran yang biasa kita baca sehingga
akan susah untuk mencerna isi buku ini. Apalagi isi pendapat para ahli sangat
bertentangan satu dengan yang lain dengan dasar dasar teori yang dimiliki, atau
bisa jadi pendapat seorang pakar dalam kurun waktu tertentu akan mengalami
perubahan 10 tahun kemudian berikutnya, sehingga membuat kita sebagai pembaca
harus cermat datanya seperti apa. Para ahli yang digunakan untuk menjelaskan
data tentang sriwijaya dalam buku ini cukup banyak, mulai dari De Casparis,
Krom, Moens, Majumdar, Nilakanta Santri serta Takasusu. Karena banyaknya
pendapat pakar yang dibahas dalam buku ini walau sang penulis memberikan
kesimpulan pendapatnya sendiri, pembaca awam bisa jadi akan bingung dan kaget
karena pendapat para ahli tersebut sangat berbeda dengan keyakinan yang sudah
kita percayai selama ini. Hal ini bukanlah suatu hal yang mengejutkan karena
sejarah di buat tentu saja disesuaikan demi kepentingan penguasa dan pemerintah
suatu bangsa, maka kebenaran sejarah sendiri bisa jadi akan subjektif. Tapi
kita membaca ini hanya untuk menambah wawasan saja, bukan untuk memercayai.
Saya sebagai guru menggunakan acuan dari pemerintah yang pasti sudah
memertimbangkan baik buruknya menggunakan salah satu teori yang digunakan serta
kebenaran teori tersebut.
Ada ahli yang mengatakan ada hubungan yang kuat antara
Sriwijaya dengan Jawa, dimana ada pemerintahan Jawa di Sumatra atau sebaliknya,
tergantung cara pandang. Begitu juga ada di buku buku sejarah yang sudah kita
gunakan dituliskan bagamana hubungan antara Samaratungga, Balapuetra dewa
dengan Pramodhawardhani. Buku yang kita gunakan memercayai bahwa Balaputradewa
merupakan adik dari Pramodhawardhani dan berbebut kekuasaan, sementara ada ahli
yang menyatakan , termasuk penulis yang percaya bahwa mereka bukan kakak
beradik melainkan Balaputradewa merupakan adik dari Samaratungga yang memiliki
hak lebih mengingat Samaratungga tidak memliki anak laki laki.
Buku ini menjelaskan kenapa satu pakar mengungkapkan data
yang sangat berbeda, karena penerjemahan piagam atau prasasti juga memiliki
tafsiran yang berbeda. Satu kata dalam bahasa Sansekerta bisa memiliki banyak
tafsiran. Ada ahli ahli yangpercaya bahwa sejak awal dinasti Sanjaya dan
Sailendra yag berkuasa di Jawa kuno itu merupakan dua dinasti yang berbeda,
dimana Sailendra berasal dari Sumatra, sementara ada ahli (yang kebetulan kita
gunakan dalam pembelajaran sejarah Indonesia versi pemerintah) menyatakan
Sailendra dan sanjaya merupakan satu dinasti yang kemudian pecah karena
keturunannya ada yang pindah agama sehingga pecah menjadi Dinasti Sanjaya yang
Beragama Hindu dan Sailendra yang beragama Budha.
Hal yang sama juga berlaku untuk kerajaan Holing, Dimana
menurut banyak ahli, Holing tidak di Jawa melainkan di Kalimantan disertai
bukti bukti dan toponimi (nama) suatu daerah, sementara keyakinan yang sudah
kita terima karena berasal dari buku buku pelajaran versi pemerintah mengatakan
Holing merupakan suatu kerajaan yang terletak di jawa dengan nama
Kalingga. Awal membaca buku ini saya
langsung pusing karena isi dari buku ini sangat berbeda dengan isi buku buku
pelajaran sejarah yang saya pelajari, tapi berangkat bahwa kurikulum yang
digunakan oleh pemerintah mengacu pada satu kebenaran, maka saya percaya dan
mengikuti acuan dari pemerintah.
Memang itulah yang ditawarkan dalam buku ini. Buku ini
ditulis untuk menguji akurasi akurasi penemuan sebelumnya mengenai Sejarah
Sriwijaya. Pendapat para ahli diuji apakah benar alasan yang dikemukakan, dan
data data yang digunakan adalah dari prasasti prasasti asli dan juga berita
berita dari Tiongkok. Kembali lagi, buku ini hanya untuk memberikan penemuan
baru, bukan merupakan acuan resmi versi pemerintah, karena memang isi nya akan
sangat jauh berbeda dengan apa yang kita percaya selama ini karena didapatkan
dari pembelajaran di sekolah. Buku ini cocok untuk dibaca bagi yang ingin
menganalisis, kalau bagi yang ingin membaca sejarah lengkap tanpa perlu
membandingkan satu teori dengan teori lain, maka buku ini bisa jadi akan sangat
berat karena kita harus banyak berpikir juga, hehehe.
Buku initerbagi menjadi Sembilan bab. Bab satu menjelaskan
tentang penulisan sejarah sriwijaya dan data yang digunakan oleh para ahli
mengenai Sriwijaya. Bab dua menjelaskan tentang I Tsing , latar belakang
hidupnya sewaktu di Tiongkok dan juga pendidikannya, perjalanannya hingga
sampai India.
Bab tiga menjelaskan tentang tempat tempat yang didatangi
oleh I TSing, dan penafsiran tempat tersebut oleh para ahli semacam Krom,
Majumdar, Coedes, dll. Ada Sembilan Negara besar yang didatangi I Tsing
berdasarkan dua bukunya yang oleh penulis disingkat menjadi record dan memoire. Kerajaan Tersebut
adalah Lo Jeng Kuo, Kha Cha, Mo Lo Yeu, Shih li fo shih, Mo Lo Sin, Ho Ling, Po
li, Tan tan, Pen pen atau pan pan, dan Fo shih pu lo, A-shan, dan Lang ya hsiu,
To ho lo po ti.
Bab 4 menjelaskan pusat kerajaan Sriwijaya, dimana para ahli
berbeda pendapat mengeni pusat Sriwijaya dengan menggunakan data data yang
mereka percaya. Penulis menjelaskan satu tokoh mengatakan pusatnya di Jambi
dengan argument argumennya, begitu juga di Palembang lengkap dengan argument
argumennya, bahkan ada yang mengatakan pusat di Malaka lengkap dengan argument
argument yang cukup memberikan wawasan bagi kita mengenai silang karut pendapat
para ahli. Argument tidak hanya
berdasarkan toponimi, tapi juga keadaan alam dan geomorfologi wilayah tersebut
pada masa tersebut yang sangat berbeda. Misalnya pada masa itu daerah Kepulauan
Riau itu menyatu dengan Semenanjung, sehingga posisi Palembang menjadi
strategis, begitu juga posisi Palembang saat itu tidak seperti sekarang, tapi
sangat dekat dengan Pantai, karena proses pengendapan yang terus menerus
sehingga lokasi Palembang sekarang begitu masuk ke pedalaman. Sangat berbeda
dengan kondisinya 1000 tahun yang lalu. Jika orang awam melihat situasi dulu
dianggap sama seperti sekarang mungkin akan bertanya Tanya kenapa Palembang
bisa jadi pusat pelabuhan padahal lokasinya jauh dari pantai. Itulah pentingnya
mempelajari Sejarah harus membutuhkan ilmu bantu lain semacam geografi dan
geomorfologi.
Bab lima menjelaskan hubungan antara Sriwijaya dengan
semenanjung. Itu semua juga dilihat berdasarkan prasasti yang ada, misalnya Prasasti
Ligor, sehingga Coedes membuat suatu teori bahwa pada masa itu ada dua raja
Sriwijaya, namun teori ini memiliki kelemahan sehingga tidak digunakan lagi.
Menjelaskan juga hubungan antara Sriwijaya dengan Sailendra.
Bab enam menjelaskan mengenai Raja Sailendra di Jawa tengah.
Bab ini menjelaskan hubungan antara Sailendra yang ada di Jawa dengan yang ada
di Sumatra, karena berdasarkan prasasti yang ditemukan, di Sumatra juga
ditemukan kata kata sailendra, walau sedikit berbeda huruf. Begitu juga nama
raja raja yang dimuat dalam prasasti Kedu dilihat secara detail, kenapa ada
yang menggunakan nama pribadi, ada yang menggunakan nama rakai diikuti tempat.
Itu di amati dengan baik. Termasuk penyebutan poh pitu sebagai pusat, yang
diduga ada nama raja raja lain yang tidak dimasukkan karena tidak berkuasa di
Poh Pitu, melainkan d tempat lain. Bab ini juga menafsirkan asal usul Sanjaya
yang diduga dari India karena kata kunjarakunya itu nama daerah di India
selatan berdasarkan Prasasti Canggal. Prasasti Kalasan juga mendapatkan sorotan
dan dijadikan pegangan kenapa Sailendra itu pendatang dari Sumatra, karena isi
dari prasasti menjelaskan permintaan Guru Raja sailendra kepada Panangkaran
untuk membangun candi. Permintaan Guru Raja Sailendra mengindikasikan bahwa
saat itu ada Raja Sailendra yang terpisah dengan Panangkaran, sehingga Panangkaran
merupakan raja bawahan Sailendra, bukan bagian dari Sailendra seperti yang kita
percaya selama ini. Begitu juga pengamatan berdasarkan prasasti Kelurak yang
menjelaskan posisi Daranindra dan Prasasti Karang Tengah yang menjelaskan posisi
Samaratungga. Prasasti Sri Kahulunan juga diamati karena menjelaskan posisi
Pramodawardhani di Jawa kuno. Posisi
candi Borobudur juga dijelaskan dengan mengacu pada kata kamulan Bhumi sambara,
dijelaskan dengan ringkas kenapa yang dimaksud dengan hal tersebut adalah
Borobudur. Bab ini juga menejlaskan bahwa Samaratungga bernama lain Rakai
Garung yang ada di Prasasti Kedu, sangat berbeda dengan yang kita percayai
bahwa prasasti kedu hanya berisi raja raja Sanjaya beragama hindu, sementara
raja raja beragama budha memiliki dinastinya sendiri.
Bab 7 menjelaskan mengenai Sriwijaya yang berada di bawah
kekuasaan Raja Sailendra. Hal ini diamati berdasarkan prasasti Nalanda dan
tafsian Prasasti Nalanda yang berbeda antara para ahli. Ada ahli yang menghubungkan
Samaratungga dengan Samaragwira , tetapi ada ahli lain yang menyatakan bahwa
dua nama tersebut merupakan dua pribadi yang berbeda, padahal itu merupakan
salah satu kunci untuk mengetahui hubungan antara Sriwijaya dengan Sailendra di
Jawa. Kita hanya mengetahui berdasarkan sejarah umum di buku pelajaran bahwa
Balapuetradewa setelah kalah perang dengan Rakai pikatan melarikan diri ke
Sriwijaya dan menjadi raja di sana, walau dia keturunan Sailendra di Jawa.
Namun di bab ini dijelaskan dengan baik argument argument yang digunakan oleh
para ahli sehingga menolak pendapat tersebut . di bab ini juga dimunculkan
diagram silsilah keluarga Sailendrawangsa menurut Bosch yang memiliki hubungan
antara Sriwijaya dengan Jawa kuno. Sementara penulis juga membuat diagram nama
raja raja Jawa tengah beserta nama pribadi, nama rakai dan nama abisekanya (hal
243).
Bab 8 menjelaskan mengenai kerajaan San fo tsi. Pendapat umum
yang sudah diterima menyatakan san fo tsi merupakan nama lain dari Sriwijaya.
Bab ini mejelaskan pro dan kontra dari para ahli mengenai penggunaan nama san
fo tsi dengan dengan sriwijaya dengan dasar dasar argument mereka.
Sementara bab Sembilan menjelaskan tentang keruntuhan dari
Sriwijaya. Hal ini dilihat dari piagam atau prasasti yang ditemukan dimana
melayu yang sebelumnya berada di bawah Sriwijaya menjadi merdeka lagi, bahkan
menguasai Sriwijaya misalnya dalam Piagam Kanton. Jauh sebelumnya Sriwijaya
berada di bawah Colamandala yang mengembangkan politik ekspansi di bawah
pimpinan dari Rajendra Cola, dimana raja Rajendracola akhirnya menjadi raja
sriwijaya walau dia berada di India. Hal terakhir dari bab ini adalah bagaimana Raja Sriwijaya berusaha untuk
mendapatkan pengakuan dari Tiongkok namun dalam perjalanan di tangkap oleh
tentara Jawa yang kebetulan saat itu adalah kerajaan Majapahit.
Sungguh menarik membaca buku ini karena memberikan wawasan
lebih mengenai Sriwijaya, para ahli sejarah begitu cermat dengan kata kata yang
digunakan baik dalam bahsa sansekerta maupun bahasa tionghoa mengingat bahasa
tionghoa yang digunakan pada masa dulu berbeda dengan bahasa sekarang. Berita
tiongkok juga masih sangat kabur, apalagi penunjukan tempat dari I Tsing yang
hanya berdasarkan bayang bayang matahari dan lokasi berdasarkan jarak tempuh
jika angin baik. Nama nama kerajaan juga banyak yang sudah tidak ditemui
sekarang, hanya berusaha mencari kemiripan nama dengan yang sekarang. Nama nama
kerajaan yang sekarang masih samar. Walau begitu pengetahuan mengenai Sriwijaya
menjadi penting karena sejarah Sriwijaya mengingatkan bangsa ndonesia kepada
suatu zaman gemilang yang sudah silam dan mendorong bangsa Indonesia untuk
memiliki kebanggaan terhadap bangsa dan Negara. Akhir kata, selamat membaca
buku ini.
No comments:
Post a Comment