Aksara apa
yang dianggap paling mudah untuk dipelajari? Kalau saya melihat tayangan Nash
Daily, maka aksara yang dianggap paling mudah di pelajari adalah aksara Korea. Menurutnya,
dalam waktu satu jam saja kita sudah bisa membaca dan menulis dalam aksara korea yang hanya terdiri dari 28
huruf dasar.
Tapi
tahukah kita bagaimana proses perjuangan bangsa korea untuk menciptakan aksara
korea yang disebut Hangeul ini? Itu semua
dijelaskan dalam film korea ini yang berjudul The King’s Letter yang rilis tahun 2019. Film ini disutradari oleh
Jo Chul Hyun dengan pemain utama Song Kang Ho sebagai Raja Sejong dan Jeon Mi
Sun sebagai Ratu Sohun(atau So Heon, maaf nih saya bingung yang benar yang mana
tulisannya) dan Park hai il sebagai Biksu Shinmi. Saya rekomendasikan film ini
untuk ditonton karena ada unsur identitas suatu bangsa melalui aksara.
Film ini
dimulai di tahun 1442 saat Raja Sejong melakukan upacara ritual untuk memanggil hujan
karena Korea lama tidak hujan. Rasa betenya muncul karena mantra-mantranya
dibacakan dalam bahasa mandarin. Dia protes apakah Dewa Korea akan paham bahasa
mandarin sehingga dia meminta permohonan doanya dalam bahasa Korea.
Stressnya raja
ini terlihat saat hujan deras dia membuang semua buku buku yang dia tulis di
depan kamarnya di saksikan sang ratu karena buku itu ditulis dalam aksara Cina
.Menurutnya aksara Cina adalah aksara yang sangat sulit dan buku-bukunya hanya
akan menjadi sampah di perpustakaan karena tidak akan ada yang membaca. Cita-citanya
hanyalah ingin seluruh rakyatnya bisa membaca dan menulis dengan sangat mudah.
Akhirnya
dia berkolaborasi dengan Biksu Shinmi untuk membuat aksara baru yang lebih
mudah. Oh iya, kenapa dia bisa tertarik kolaborasi dengan biksu Buddha? Pada saat
terjadi hujan, muncul rombongan Biksu dari Jepang yang menginginkan 80 ribu
potongan kayu Tripitaka Korea untuk dibawa ke Jepang. Menurut para biksu Jepang
ini, di Korea Potongan kayu ini dianggap tidak berguna karena Korea adalah negara
konfusianisme.
Pada adegan
ini terlihat bagaimana sang raja menolak karena berkaitan dengan sejarah Korea sendiri walau para pejabatnya
menginginkan untuk memberikan itu.Hanya karena negara sudah beragama Konghuchu
(maaf kalau sering tercampur dengan istilah konfusius karena masih bingung
perbedaanya)maka sejarah agama sebelumnya dihancurkan/diberikan kepada kerajaan
lain. Sang raja melihat jika Jepang akhirnya menguasai 80 ribu tablet kayu
Tripitaka itu, ,maka bisa menjadi symbol Jepang dan jika suatu negara (jepang)
bersatu dengan symbol tersebut, ditakutkan mereka akan menjadi negara yang
sangat kuat dan berbahaya. Akhirnya sang ratu mengundang Biksu Shinmi
yang ahli dalam fonetik dan Bahasa untuk ke istana menyelesaikan masalah ini.
Tidak usah
jauh –jauh sih, saya langsung teringat bahwa sebenarnya ini mirip dengan agama
dimanapun, kala suatu kerajaan misalnya berlandaskan kekristenan dan dengan
penggunaan symbol Kristen, mereka menggunakan itu untuk berperang melawan
kerajaan lain yang memiliki symbol (agama) yang berbeda. Sejarah perang salib
kan juga berdasarkan perbedaan symbol agama ini. Atau missal konflik yang
terjadi di Suriah karena perbedaan symbol agama (lebih tepatnya aliran) yang
berbeda. Atau perang sabil yang terjadi antara Aceh melawan colonial belanda
dulu. Semuanya berkaitan dengan symbol agama.
Dari film
ini terlihat bagaimana para pejabat Korea saat itu berusaha melepaskan diri
dari pengaruh agama Buddha dan focus pada agama Konghuchu. Bagaimana segala
sesuatu yang berkaitan dengan Buddha di ibukota harus di hapuskan karena pada
era sebelumnya agama Buddha digunakan untuk menguasai negara dan hanya sedikit
orang yang bisa mempelajarinya.
Raja Sejong
akhirnya menyuruh Shin Mi untuk membuat aksara baru yang lebih mudah
berdasarkan bunyi fonetik yang berasal dari Tripitaka (otomatis dari Bahasa sansekerta)
. Biksu ini mengajarkan sistem yang digunakan dalam Bahasa sansekerta yang
terdiri dari 50 huruf dasar (karena biksu Buddha jaman dulu kalau kalian
pelajari sejarah haruslah menguasai Bahasa sansekerta, makanya mereka ke India
belajar langsung dan sebelum belajar biasanya mampir ke Sriwijaya dulu),
kemudian huruf Tibet 34 huruf dasar dan aksara phagspa (aksara yang digunakan
bangsa mongol kala menguasai Tiongkok dengan dasar sama dengan Bahasa sansekerta)
memiliki 41 huruf dasar. Huruf berjumlah 34 seperti aksara Tibet menurut Raja
Sejong dianggap masih terlalu banyak sehingga harus di kecilkan lagi. Biksu Shinmi
Menguras pikirannya agar aksara yang tercipta menjadi lebih kecil di sesuaikan
dengan Bahasa korea.
Hanya untuk
membentuk aksara baru saja, penentangan besar terjadi di lingkungan kerajaan.
Para pejabat istana kuatir bahwa Tiongkok akan menjadi marah karena Korea
menciptakan aksara sendiri. Walaupun Raja Sejong mengetahui bahwa ada alasan
lain, bahwa agama Konghuchu merupakan agama negara dengan aksara mandarin, dan
hanya segelintir orang yang menguasai aksara mandarin. Para pejabat ingin
menciptakan situasi eksklusif bahwa hanya segelintir orang yang boleh bisa
membaca dan menulis. Dari sini pejabat yang omong sepertinya tidak sadar bahwa
pola yang mereka pakai sama saja dengan pola di kerajaan sebelumnya.
Yah, jika
di era sebelumnya Buddha menjadi sangat ekslusif dan dimana para biksu
memonopoli pengetahuan, kekayaan dan kekuasaan. Maka hal yang sama juga terjadi
di era Joseon. MenurutRaja Sejong, konfusius juga tidak akan jauh berbeda.
Buktinya, semua tulisan agama konfusius menggunakan aksara Cina yang hanya
dikuasai oleh segelintir orang dan mereka umumnya memiliki kedudukan tinggi.
Sifat begitu
takutnya pejabat Joseon terhadap Tiongkok membuat mereka akhirnya menghamba pada
apapun yang berasal dari Tiongkok. Salah satunya melalui agama dan aksara. Mereka
berusaha meminggirkan agama Buddha dan berusaha menurunkan posisi Ratu Sohun
yang memeluk agama Buddha. (saya sarankan kalian melihat serial Korea berjudul
Jang yong sil, ilmuwan cerdas pada masa sebelum raja Sejong dimana
pengetahuannya dihambat oleh para ilmuwan dan pejabat Korea hanya karena dia
ingin meciptakan astronomis sendiri tidak berkiblat ke Tiongkok. Serial ini
menguatkan pikiran saya bahwa di masa itu, semua kebudayaan dan teknologi Korea
sepertinya harus berkiblat ke Tiongkok kalau tidak, maka akan ada ancaman bahwa
Tiongkok menjadi marah dan menyerang Korea)
Dari sini
saya berpikir, bahwa sang raja sebenarnya sangat ingin agar Korea memiliki
identitasnya sendiri, bukan boneka Tiongkok. Identitas Korea ya dengan aksara
Korea. Hanya saja penentangan yang terjadi begitu besar. Bahkan saat dia sudah
membuat buku tentang cara menggunakan aksara baru itu, pejabat yang ditunjuk
untuk mencetak buku itu menggantinya bahwa aksara baru itu berdasarkan huruf
dan fonetik Cina (padahal ini awalnya dari Bahasa sansekerta yang termuat dalam
buku tripitaka). Begitu juga pada saat buku itu diberikan pada seluruh pejabat
istana di Aula istana, semua pejabat istana meninggalkan buku itu tanpa dibuka
sama sekali. Bagi mereka lebih baik menggunakan aksara cina yang rumit agar
tidak semua orang bisa membaca dan menulis dan tentu saja agar tidak membuat
Tiongkok marah.
Sang raja
juga sebenarnya menginginkan agar Konghuchu serta Buddha dibiarkan berkembang
di Korea. Dia mengabaikan protes seluruh pejabat istana kala Sang ratu
dimakamkan dengan cara agama Buddha. Bagi mereka, harusnya sang ratu dimakamkan
dengan cara Konghuchu. Disini saya melihat pemaksaan agama begitu terlihat,
upaya agar agama Buddha yang masih dipeluk oleh rakyat jelata disingkirkan
sedikit demi sedikit.kalau bisa dicabut dari akarnya sehingga tidak akan
menimbulkan kegaduhan.Para pejabat menyebut agama Buddha ini dengan sebutan bid’ah
(aliran sesat?), ritual mengerikan sebagai contoh penentangan terhadap agama
ini.
Konflik
antar agama terlihat nyata di film ini. Buddha
yang sudah ada sebelumnya di Korea dan
menjadi agama negara di era sebelumnya, begitu kerajaan baru ( Joseon) berdiri
dengan dasar agama lain (konghuchu), maka agama yang lama mulai dipinggirkan
dari kerajaan. Sekadar pembangunan kuil kecil di dalam istana karena permintaan
Ratu Sohun bisa menjadi masalah besar secara politik. Agama baru berusaha untuk
menjadi mayoritas melalui tangan-tangan institusi negara.
Konflik antar
negara (walau tidak terlihat secara langsung) juga terjadi. Raja Sejong sangat
berani berbeda pendapat dengan seluruh pejabatnya yang pro aksara mandarin.
Hanya dia sendiri (secara politik) yang menginginkan Korea memiliki kebanggaan
dengan aksaranya sendiri, bukan cuma meniru negara tetangga yang jauh lebih
besar.menurut saya, Raja Sejong menganggap penggunaan aksara mandarin dalam
tradisi menulis di Korea merupakan suatu bentuk penjajahan Tiongkok atas korea.
Dan dia begitu marah karena semua pejabatnya tidak ada yang mendukungnya untuk
menciptakan identitasnya sendiri.
Selain konflik
berkaitan dengan agama dan kerajaan, saya juga melihat perbedaan kepentingan
antara Raja Sejong dan Biksu Shinmi. Jika Raja hanya menginginkan aksara yang
mudah dipelajari, maka Biksu Shin Mi memiliki impian untuk mengembalikan agama
Buddha menjadi agama negara, dan menciptakan aksara ini merupakan salah satu
upayanya agar agama Buddha kembali menjadi agama negara.
Aksara
mungkin hanya terlihat sederhana, tapi didalamnya juga menunjukkan nasionalisme yang
kuat dan identitas suatu bangsa. Yah, kemudian saya mengamati, bagaimana
bangsa-bangsa yang besar selalu memiliki identitas aksaranya sendiri, mulai
Tiongkok, Korea, Jepang, India, Rusia, Arab, mereka semua memiliki identitas
sendiri berupa aksaranya sendiri, bukan Cuma meniru menggunakan aksara latin
semata. Yang jadi pertanyaan bagi saya setelah menonton film ini, apa yang menjadi
identitas anda sebagai bagian dari salah satu suku dari Indonesia (terkait
aksara tentu saja) ?
No comments:
Post a Comment