Judul buku :
Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina
Pengarang :
Ong Ho Kham
Penerbit :
Komunitas bamboo 2008 Jakarta
Tebal halaman :
197 Halaman
Buku ini merupakan karya Ong Ho Kham yang merupakan buku
sejarah Cina. Tediri dari beberapa artikel yang banyak mengupas hal yang sama.
Karena berbagai artikel yang terangkum dalam buku ini banyak mengupas hal yang
sama, maka kita bisa mengingat beberapa hal penting mengenai sjarah etnis cina
di Indonesia.
Saya masih menggunakan kata cina ini sesuai dengan bukunya
agar lebih jelas.toh sang penulis sendiri juga menggunakan kata cina dan
tionghoa , terutama cina walau beliau sendiri adalah orang tionghoa. Kedatangan
orang Tionghoa di Indonesia pada umumnya
datang sendiri sendiri, terkhusus di Jawa. Karena mereka datang secara individu
atau kelompok kecil, maka mereka beadaptasi dengan budaya setempat, menikah
dengan gadis gadis pribumi, sehingga masuk generasi ketiga, orang tionghoa
sudah sangat membaur dengan budaya local, entah bahasa, makanan, maupun
pakaian. Sangat berbeda dengan kedatangan orang Tionghoa di Sumatra dan
Kalimantan yang sifatnya seperti bedol desa pada masa belanda. Karena yang
dibawa adalah satu komunitas besar, maka di tempat yang baru, mereka masih
sangat mempertahankan tradisi leluhur.
Khusus di Jawa, akibat system kawin campur maka muncul istilah peranakan
dan totok atau singkeh. Peranakan merujuk pada orang tionghoa yang sudah turun
temurun lahir di Indonesia, sementara singkeh adalah orang yang baru datang
dari Tiongkok.
Orang Tionghoa baru membawa wanita dari Tiongkok setelah
akhir abad 19 akibat ditemukannya kapal uap. Istilah peranakan sendiri awalnya
ditujukan kepada Orang Tionghoa yang beragama muslim. Menjadi muslim karena
mereka menikah dengan wanita pribumi yang muslim. Sisi kegamaan orang tionghoa
sangat berbeda dengan agama monotheisme semacam islam Kristen yahudi. Ong
hokham sendiri sukar untuk member definisi agama pada kepercayaan seperti Tao
atau konghuchu. Karena kepercayaan yang sifatnya lentur, maka tidak ada masalah
bagi orang Tionghoa untuk memeluk agama islam seperti kebanyakan orang Jawa.
Sementara itu, sebelum tahun 1740, orang tionghoa bebas
kemanapun, namun setelah peristiwa geger pecinan yang terjadi di Batavia, maka
dilakukan system wijkenstelsel dan passenstelsel. Sisem ini merupakan system
pemukiman dimana orang orang tionghoa harus tinggal dalam suatu kamung khusus
orang tionghoa, dan mereka tidak sembarangan keluar dari kampung itu.
Seandaianya bisa keluar dari kampung itu, mereka harus menggunakan surat pass
jalan agar bisa leluasa keluar masuk kampung komunitas lain. Selain itu, untuk
bisa membedakan orang tionghoa dan pribumi, mereka dilarang menggunakan pakaian
pribumi, mereka harus menggunakan pakaian yang bisa menjadi penanda mereka
orang tionghoa.
Saat terjadi pembantaian orang tionghoa di Batavia, pejabat
tinggi belanda sebenarnya sangat kuatir dengan reaksi TIongkok. Namun dalam
paham kong hu chu, orang tiongkok yang meninggalkan kampung leluhurnya untuk
ekonomi dianggap sebagai penghianat. Mereka yang kembali ke Tiongkok untuk
mengunjungi keluarganya akan ditangkap dan bisa dibunuh oleh tentara kerajaan.
Dari sini bisa diambil keputusan bahwa kaisar tiongkok saat itu tidak peduli
dengan pembantaian 10 ribu orang tionghoa di Batavia. Dinasti Mancu atau Ching
baru menaruh perhatian pada orang tionghoa perantauan kala mereka memang
membutuhkan dana besar untuk pembangunan di negerinya, sehingga meminta bantuan
pada orang tionghoa perantauan dan itu baru terjadi pada awal abad 20,
sementara kasus geger pecinan masih abad 18.
Jika ditanya siapa leluhur orang tionghoa di Indonesia, maka
yang dimaksud generasi pertama orang tionghoa peranakan adalah orang yang
pertama datang ke Nusantara, bukan leluhur yang langsung dari Tiongkok. Hal ini
secara tidak langsung memutus hubungan
dengan tiongkok. Karena leluhur yang besar dan tinggal di Tiongkok tidak
dianggap sebagai generasi pertama orang tionghoa peranakan. Umumnya generasi
pertama peranakan di Indonesia adalah pada abad 17 hingga 18, saat orang orang
Tiongkok berduyun duyun mendatangi Batavia yang sangat membutuhkan tenaga kerja
dalam jumlah besar.
Orang tionghoa sangat dibutuhkan oleh orang Belanda karena
kedudukannya sebagai pedagang perantara, terutama di pedalaman. Selain itu
orang tionghoa menjadi penyewa hak (pacht system) seperti hak monopoli candu,
pajal gerbang tol dan juga rumah pegadaian. Hubungan antara orang tionghoa dan
pejabat menjadi sangat erat. Hal ini mengakibatkan orang tionghoa peranakan
banyak melakukan perkawinan politik dengan anak anak bupati agar bisa
mendukung perekonomian mereka. Namun
hubungan ini berakhir saat system pacht ditinggalkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Akibat politik etis, maka orang tionghoa menuntut untuk bisa
leluasa keluar dari kampung kampungnya. Hal ini mengakibatkan mengalirnya modal
keluar kampung pecinan sehingga oleh orang belanda dianggap membahayakan
perekonomian orang orang pribumi, dan kelak mengakibatkan munculnya Sarikat
Dagang Islam (SDI) karena mulai resah dengan perkembangan pedagang Tionghoa.
Selain itu, orang Tionghoa juga menuntut untuk diijinkan berpakaian seperti
orang eropa. Pada masa sebelumnya, mereka tidak diijinkan, kalaupun diijinkan
mereka harus meminta ijin pada pejabat tinggi Belanda. Suatu hal yang sangat
merepotkan, Tapi hal ini dilakukan oleh konglomerat Semarang Oei Tiong Ham
sehingga dia bisa berpakaian seperti orang barat.
Pada suatu masa terjadi kebangkitan tiongkok sehingga orang
Tionghoa mendirikan sekolah yang bernama Tiong hoa Hwee koan (THHK) yang
mengajarkan bahasa Mandarin dan Inggris. Kebangkitan orang peranakan membuat
kuatir pemerintah Hindia bahwa mereka tidak akan loyal lagi terhadap Ratu
Wilhemina sehingga belanda mendirikan sekolah Holand Chinese School (HCS) (maaf
tidak hafal kepanjangannya dan buku sudah dikembalikan ke perpustakaan) dengan
bahasa pengantar bahasa Belanda. Hal ini kelak baru disusul oleh kemunculan HIS
untuk penduduk pribumi. Bisa diartikan penduduk pribumi tidak terlalu
diperhatikan dibandingkan orang Tionghoa sendiri. Menurut penulis, pendirian
THHK yang berbahasa inggris dan mandarin bukan karena faktor politik, tapi
karena faktor ekonomi. Saat itu pemerintah Tiongkok menjanjikan untuk mengirim
guru guru ke HIndia Belanda untuk mengajar THHK, sementara mengajar bahasa
inggris karena biayanya lebih murah daripada pengajar bahasa Belanda.
Hal ini bisa dimaklumi karena waktu itu THHK meminta subsidi
dari pemerintah Belanda tapi tidak diberikan. Selain itu, Belanda sangat
berbeda dengan penjajah penjahjah lain yang berusaha memaksakan bahasanya kepada
daerah jajahan. Bagi mereka, merupakan suatu penghinaan apabila penduduk
pribumi menggunakan bahasa mereka dalam percakapan sehari hari, sehingga
Belanda tidak menaruh perhatian penting terhadap penggunaaan bahasa belanda Di
Indonesia, hal yang kemudian mulai mengalami perubahaan di kala politik etis
berlangsung dan mereka membutuhkan banyak tenaga kerja yang tidak bisa dipenuhi
oleh penduduk eropa.
Di bagian akhir penulis menjelaskan tiga studi kasus
keluarga terpandang di Hindia, yaitu keluarga Han , Tjoa dan The di Jawa Timur
yang menjadi opsir peranakan di Sana. Pada masa dulu, kepala kampung kepala
kampung Tionghoa diberi pangkat Mayor, sersan, kapitan seperti halnya dalam
kemiliteran, tapi bukan berarti mereka adalah tentara, itu hanya suatu penamaan
saja karena gelar yang ada memang gelar kemiliteran. Nah, cara pemilihan kepala
kampung ini berdasarkan harta kekayaan, semakin kaya suatu keluarga, maka
peluang untuk menjadi opsir Belanda juga sangat tinggi. Untuk menjaga agar
kedudukan tinggi tersebut tetap dipegang oleh keluarga keluarga tertentu, maka
diantara mereka terus dlakukan perkawinan politik. Orang luar yang ingin
menjadi opsir atau berkedudukan tinggi status social, harus bisa menikah dengan
salah satu keluarga tersebut. Kedudukan mereka sangat penting karena mereka
menjadi perantara antara keputusan pemerintah Hindia dengan penduduk pecinan,
selain itu mereka juga memiliki kedudkan penting bagi orang singkeh yang tidak
bisa berbahasa local.
Itu saja hal hal yang bisa saya rangkum dari buku ini, buku
ini yang jelas memberikan wawasan yang berarti bagi kita untuk mengetahui
mengena sejarah orang tionghoa di Indonesia. Akhir kata selamat membaca.
No comments:
Post a Comment