Kali ini saya akan mereview film documenter berjudul Pulau Plastik. Film ini sebenarnya lama banget walau sama sama di tahun 2021 cuma baru sempat membuat tulisan sekarang, hehehe. Hari pertama film ini diputar di bioskop langsung aku tonton karena takut sepi. Maklum, film dokumenter itu kan pangsa pasarnya terbatas, jadi lebih baik langsung nonton film di hari pertama supaya kalau tutup layar, sudah menontonnya. Cukup kaget juga Visinema Picture membawa film dokumenter seperti ini untuk dibawa ke layar bioskop padahal peluangnya kecil bisa menggaet banyak penonton. Itu dari kacamata pribadi lho, hehehehe
Saya tertarik nonton film ini karena
mengangkat tema lingkungan sih. Begitu ada promo, saya langsung putuskan, saya
akan menonton. Sebagai seorang pendidik yang selalu ngoceh masalah lingkungan
kepada anak didik, maka penting bagi saya, untuk melihat dalam skala yang lebih
luas, tidak hanya dari yang saya tahu saja. Apalagi masalah plastik sepertinya
menjadi masalah paling akut di Indonesia kalau buat saya. Selalu melihat plastic
dimana-mana dan berpikir bagaimana cara mengatasinya ya?
Film dibuka dengan banyaknya sampah plastic
yang terdampar di pantai Bali, begitu banyak sedotan plastic yang ada di pantai.
Kemudian dilakukan uji coba membenamkan plastic (yang katanya bioplastik) di
dalam laut, dan ditunggu bberapa bulan kemudian, untuk kemudian hasilnya
diketahui di akhir film saat membuka Kembali tempat yang berisi plastik-plastik
tadi). Ada penyelam yang berenang di laut yang didalam laut tersebut banyak sampah
plastic mengambang dimana-mana. Termasuk didalamnya ada contoh penyu yang
didalam hidungnya ada sedotan yang panjang.
Film ini mengisahkan tiga tokoh yang
berjuang dengan masalah lingkungan, yaitu Gede Robi seorang vokalis band di
Bali, Prigi Arisandi seorang biologis di Jawa Timur, dan Tiza, pengacara di
Jakarta. Jadi, (seingat saya, hehehehe) Gede Robi ini ingin terlibat dalam
semacam pawai lingkungan di Jakarta. Dia naik truk dari Bali sampai Jakarta.
Sebelum ke Jakarta, dia singgah ke Surabaya dan bertemu dengan Prigi Arisandi,
seorang biologis dan juga penjaga sungai di Jawa Timur.
Disana banyak dibahas mengenai dampak plastik
dan yang saya garis bawahi (karena itu yang saya ingat, heheheh). Pertama
adalah adanya produk plastik ramah lingkungan. Plastik ramah lingkungan yang
terbuat dari tanaman, tidak sepenuhnya berasal dari tanaman, melainkan masih
ada kandungan plastiknya berapa persen yang itu tetap berbahaya bagi
lingkungan. Istilahnya adalah mikro plastik. Mikro plastik ini ada dimana mana,
mulai dari tubuh ikan, tambak garam, bahkan termasuk di dalam tubuh manusia.
Loh, kok bisa?
Jadi di dalam tubuh ikan itu ada banyak
mikro plastik, dan dengan uji lab tinja manusia (dalam hal ini adalah tinja
milik Gede, hahaha, lucu kala dia memberikan tinja yang cukup banyak di botol
sampel, padahal yang dibutuhkan hanya sedikit), dan di dalam tinja itu
ditemukan mikro plastic. Artinya, mikro plastic juga ada di dalam tubuh manusia
tanpa kita sadari, karena hewan-hewan yang kita konsumsi, misalnya ikan, itu
sendiri juga memakan mikro plastik anpa mereka sadari.
Kedua, sampah yang ada di sekitar kita bisa
jadi bukan kita yang menghasilkan namun orang lain yang tinggalnya jauh dari
kita. Hal ini dibahas pada saat Tiza dan kelompoknya melakukan bersih-bersih di
Kepulauan Seribu. Banyak sekali sampah plastic yang terdampar di pantai
tersebut, namun mustahil itu plastic yang dihasilkan oleh penduduk Kep. Seribu,
pasti dari tempat lain, dan itu adalah Jakarta. Arus air laut membawa
sampah-sampah yang dibuang di sungai tadi mengapung dan terdampar di Kepulauan
Seribu.
Selain itu ada kasus bagaimana negara maju,
tidak mau melakukan daur ulang sampah plastiknya sendiri dan membuang sampah
mereka ke negara berkembang seperti Indonesia. Mereka menutupi sampah plastic itu
dengan kertas dan dianggap menjual kertas bekas (intinya begitu aku lupa nih)
padahal di dalam tumpukan kertas kertas ini terdapat plastik dalam jumlah yang
besar dan sengaja dibuang ke Indonesia. Impor Sampah plastic secara terselubung
ini terjadi di Surabaya. Pabrik/ perusahaan (apa ya istilahnya , lupa aku) yang
mendatangkan impor ini cukup tertutup dalam
memberikan data, namun diketahui kala plastik-plastiknya dibuang keluar. Ada
yang memanfaatkan juga sih, namun dengan dipilih-pilih, untuk bahan bakar
pembuatan tahu yang banyak di area tersebut. Tapi tetap saja, hal itu mengakibatkan
polusi udara yang besar dan racun yang tersebar kemana-mana.
Melihat film ini, semakin menguatkan diri
bahwa penanganan plastik memang sangat susah dan membutuhkan dana yang cukup
besar. Jika negara besar saja tidak mau atau enggan mengolah sampah plastik ini
, apalagi negara berkembang? Namun, berhenti menggunakan plastic apakah itu
mungkin?
Film yang disutradari oleh Dandhy Laksono
dan Rahung Nasution ini focus pada bahaya plastic dan anjuran untuk tidak menggunakan
plastic dalam kehidupan sehari-hari. Dalam batas-batas tertentu saja setuju
dengan itu, namun anti dengan Plastik adalah sesuatu yang bisa dibilang
mustahil. Menyarankan untuk selalu makan di rumah, atau membawa makanan di
rumah, ok, tapi dengan selalu melakukan itu tiap hari? Sepertinya mustahil.
Menggunakan tas kain untuk berbelanja, tapi selalu ingat menggunakan tas kain? Sepertinya
itu susah.
Saya pribadi sangat sering menolak
penggunaan tas plastik untuk pembelian tertentu di swalayan dan sebisa mungkin
saya masukkan ke dalam tas. Tapi ada saat-saat tertentu dimana memang saya
butuh tas plastic, missal karena lupa bawa atau belanja yang terlalu banyak
atau apapun. Saya lebih realistis bahwa yang bisa saya lakukan dan saya
sarankan ke masyarakat adalah mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan
sehari-hari.
Saya melihat sungai-sungai yang menjadi
contoh film ini (kebetulan yang menjadi contoh adalah sungai sungai di sekitar
Surabaya, tempat saya tinggal). Begitu bnyak sampah, termasuk diantaranya popok
bayi. Banyak yang memiliki keyakinan bahwa popok bayi lebih baik tidak dibakar
karena ada mitos-mitos tertentu. Lebih baik popok bayi dibuang ke sungai,
padahal popok bayi ini sukar untuk hancur di alam, akibatnya justru menjadi
sampah di sungai itu. Tahu sendiri kan, kalau terlalu banyak sampah,otomatis akan
mengendap ke dasar sungai atau menutupi aliran sungai. Dalam jangka panjang
bisa menyebabkan terjadinya banjir.
Terlepas dari berbagai pertanyaan dalam diri
saya akan masalah lingkungan, film ini sangat saya rekomendasikan bagi
masyarakat agar masyarakat semakin peduli dengan kondisi lingkungan dan semakin
sedikit menggunakan plastic dalam kehidupan sehari-hari.
No comments:
Post a Comment