Kali ini saya akan membahas film Tarian Lengger Maut yang rilis bulan Mei kemarin. Karena sudah selisih 3 bulan, maka review ini akan spoiler tentang film tersebut. Saat menonton trailernya, ekspektasi saya sudah sangat tinggi karena film ini secara cinematografi sangat memanjakan mata. Belum lagi film ini dibuat oleh Visinema Picture. Bagi saya, film-film buatan Visinema memiliki nilai lebih dalam hal pengambilan gambar, jadi harapan saya cukup tinggi.
Belum lagi film ini juga mengangkat suatu
budaya lokal, ditambah dengan beberapa potongan adegan yang menunjukkan setting
pada masa dulu, yah sekitar 1960- 1970an mungkin. Kebetulan secara pribadi saya
suka dengan film-film yang mengambil seting pada masa lampau , ada nuansa
sejarah saja sih bagi saya, hehehee. Cuma, begitu melihat durasi yang hanya 71
menit, timbul pertanyaan dalam diri saya, film ini mau dibuat seperti apa kalau
durasi waktunya sangat padat hanya satu jam. Saya berpikir negative bahwa akan
ada banyak plot hole yang menjadi pertanyaan bagi saya sebagai penonton awam.
Film yang disutradarai oleh Yongki Ongestu
sendiri sejak awal dibuka dengan nuansa yang mencekam, bagaimana seorang
pembunuh berdarah dingin dengan status seorang dokter membunuh tanpa rasa belas
kasihan kepada seseorang untuk diambil jantungnya. Pada adegan ini jujur
membuat saya merinding dan tidak berani melihat dengan mata terbuka ,
wkwkwkwkwkw. Musik yang sangat mendukung ditambah ekspresi korban yang ketakutan
namun tidak bisa berbuat apa-apa saat tubuhnya dioperasi untuk diambil jantungnya.
Korban hanya bisa meneteskan air mata sebelum akhirnya meninggal.
Dokter Jati yang merupakan dokter baru di Desa
Pagar Alas, bisa dibilang justru membawa bencana karena satu persatu warga hilang.
Pertemuan antara Dokter Jati dengan Sukma, calon lengger Pagar Alas membuat
jantung Dokter Jati berdegup Kencang. Sementara itu, banyaknya warga yang hilang
membuat Warga menjadi ketakutan menjelang
malam dan mereka meyakini Satunya yang dapat menghentikan petaka ini
adalah dengan ritual Tarian Lengger. Sementara itu Sukma sebagai calon penari
Lengger juga melakukan ritual untuk mendapatkan anugrah Indang yang dipercaya
dapat melindungi sang penari lengger dan desanya.
Pada saat menonton film ini, ada banyak
pertanyaan dalam diri saya, faktor apa yang menyebabkan Dokter Jati sangat
terobsesi dengan Jantung. Walau ada kilas balik kehidupan masa kecilnya, itu
tetap tidak dapat menjawab rasa penasaran saya mengapa dia menjadi terobsesi
dengan jantung sehingga harus melakukan pembunuhan untuk mengambil jantung
seseorang dalam keadaan hidup.
Dan endingnya itu saya berpikir bahwa Sukma
akan menggunakan semacam magic untuk menyingkirkan Dokter Jati. Di dalam otak
saya, akan muncul plot dimana kedok Dokter Jati akan terbongkar dan mencoba membunuh
Sukma, sementara Sukma yang ketakutan akan menggunakan semacam ilmu klenik
untuk melindungi dirinya. Dokter Jati yang kehilangan akal untuk menyingkirkan
Sukma, akhirnya menggunakan pengaruhnya sebagai seorang dokter berpendidikan tinggi
untuk menghasut warga. Dia akan memfitnah bahwa Sukma merupakan seorang penganut paham
komunis yang tidak percaya pada Tuhan. Sosok yang menggunakan ilmu hitam untuk
mencelakai orang. Warga masyarakat yang akhirnya terpengaruh akhirnya mengejar Sukma
dan berusaha untuk main hakim dan membunuh Sukma. Itu scenario yang ada dalam
pikiran saya lho.
Mengapa saya berpikiran begitu? Karena saya
melihat setingnya yang merupakan seting lama. Itu bisa dilihat dari mobil yang
digunakan Dokter Jati serta style penampilan Dokter Jati. Di masa-masa setelah
tahun 1965, stemple Komunis tentu stemple yang sangat mengerikan disematkan
bagi seseorang. Sekali orang mendapatkan stemple tersebut, bisa dipastikan masa
depannya akan rusak. Hal ini sesuai dengan latar belakang Sukma yang merupakan
penari lengger,penari tradisional. Hal yang saya ingat dengan konteks yang sama tentang tokoh Srintil
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan seting waktu yang sama.
Namun, background seting ini juga akhirnya
menjadi tanda tanya bagi saya, karena di banyak adegan, para penduduk banyak
yang menggunakan pakaian seperti sekarang, terutama banyak Wanita yang
menggunakan hijab. Kebetulan di berbagai film yang mengambil seting sebelum
tahun 2000, saya tidak menemukan figuran-figuran yang menggunakan hijab.
Kalaupun menggunakan semacam hijab, itu adalah kerudung yang hanya digunakan
pada waktu tertentu, sementara hijab yang digunakan para figuran di film ini
adalah jenis hijab era sekarang. Hal yang membuat saya Kembali bertanya, seting
waktu film ini menceritakan tahun berapa ya kira-kira?
Kemudian banyaknya orang yang hilang
tiba-tiba. Itu juga menjadi pertanyaan bagi saya, mengapa para warga diam saja,
tidak ada yang melapor ke polisi. Atau, kalau misalnya Polisi tahu, tidak
dimunculkan keterlibatan polisi dalam mencari orang-orang yang hilang. Kalau
konteksnya masa lampau sekali, mungkin itu bisa terlaksana, tapi sudah agak
modern, kok sepertinya mustahil polisi diam saja dengan banyaknya warga yang
hilang dalam satu wilayah. Apalagi di salah satu adegan saat Sukma sedang mandi
di sungai tengah malam kala menjalani suatu ritual, saat itu di jembatan dekat
dia mandi, Dokter Jati membuang mayat ke sungai. Bayangan saya, seharusnya
mayat itu akan ditemukan, apalagi korban tidak hanya satu melainkan banyak.
Belum lagi di bagian Ending kala Sukma
mengetahui kedok Dokter Jati yang ternyata seorang pembunuh. Endingnya bikin
saya bertanya-tanya, loh, kok Cuma seperti ini? Tidak ada suatu hal yang bikin
wow gitu, tapi yang ada malah bikin gregetan. Tokoh yang menjadi pembantu di
rumah Dokter Jati juga menjadi tanda tanya bagi saya, betul dia dikisahkan tuli,
namun apakah dia benar-benar selugu itu sehingga tidak mengetahui di rumah itu
terjadi pembunuhan berkali-kali?
Walau ada banyak pertanyaan, setidaknya
film ini juga memiliki nilai plus. AKting Della Dartyan dan Refal haldy patut
diacungi jempol. Ekspresi mereka bagus dan menjiwai. Mengangkat budaya lokal
menjadi sebuah film juga menjadi poin plus bagi saya. Dan, yah, cinematografi
yang memanjakan mata juga tentu saja menjadi poin lebih dari film ini. Belum
lagi nuansa banyumasan terasa cukup kental dengan logat ngapaknya. Terlepas
plus minusnya, maka film ini tetap patut diapresiasi dan ditonton. Akhir kata,
selamat menonton.
No comments:
Post a Comment