Mengetuk rasa kedaerahan di Yo Wis Ben
Film Yow Wis Ben memang sudah beredar kurang lebih 14 hari
sejak premiernya tanggal 22 februari. Kebetulan saya sudah melihat filmnya enam
hari sesudah premiernya. Penontonnya sangat ramai walau sudah hampir seminggu
penayangannya. Saya pikir memang film ini pasti bagus banget, sesuai ekspektasi
saya.
Dan, ternyata, …. Ya cukup bagus. Kalau jelek ya tidak,
kalau bagus banget juga tidak, ini masalah selera . tapi saya berpikir setelah
nonton film ini, salah satu daya jual utama film ini adalah penggunaan Bahasa Jawa
yang sangat dominan. Bagi saya pribadi, ada unsur kedaerahan saat melihat film
itu berbahasa Jawa, maka saya ingin melihat film itu, dengan bahasa yang biasa
saya gunakan sehari hari. Apalagi saya berdomisili di Jawa Timur, terkhusus
Surabaya, dan saya juga pernah tinggal di Malang, maka ada unsur romantisme
masa lalu yang saya ingin kenang dengan melihat film ini. Boleh kan melihat
film nasional dengan bahasa local ,setelah tiap film yang ditonton selalu berbahasa
Indonesia dan terbiasa menggunakan kata elu gue, padahal itu hanya khas di
kawasan JABODETABEK semata.
Bagi saya film ini tidak murni menggunakan Bahasa Jawa khas
jawa timuran, masih ada Bahasa Jawa yang biasa digunakan Jawa Tengah atau
bahasa arek Mataraman(kawasan Jawa Timur yang masih terpengaruh budaya Solo),
misalnya penggunaan kata kowe untuk
menunjukkan kata kamu, di Surabaya saya terbiasa menggunakan kata Kon, atau awakmu, saya hampir tidak pernah mendengar kata kowe. Bahkan saya masih ingat dulu
ketika saya baru awal datang ke Surabaya bahasa saya kentara sekali kalau saya
berasal dari Jawa Tengah terkhusus Solo. Dan setiap saya menyebut murid dengan
kata kowe, semua pada ketawa karena
merasa aneh dengan istilah itu. Tapi itu wajar saja bagi sutradara , karena
pangsa pasar film ini bukan sekedar orang jawa timur terkhusus pengguna bahasa
jawa , termasuk Jawa Tengah dan
Yogyakarta, maka proses percampuran itu perlu agar lebih dipahami dan diterima.
Saya rasa target Bayu Skak selaku sutradara agar filmnya ditonton 500 ribu orang bakal
terlaksana (dan memang sudah terlaksana) mengingat hampir setengah penduduk
Indonesia adalah orang Jawa. Belum lagi posisi Bayu Skak sebagai youtuber
dengan jumlah pengikut mencapai 1,2 juta. Tentu saja ini menjadi magnet besar .
selain Bayu Skak , film ini juga memasang Brandon Salim dan beberapa artis
ibukota. Itu merupakan langkah bagus agar orang diluar Jawa Timur tahu ada film
nasional berbahasa local dengan menggandeng actor/aktris ibukota yang sudah
menasional. Adanya Cak Kartolo dan Cak Sapari sukses memancing tertawa
penonton. Bagi orang luar Jawa Timur (jatim) mungkin kurang mengenal dua tokoh
ini, tapi bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya serta Jatim umumnya, pasti
tidak asing dengan dua tokoh seni ini, dan ini juga makin menjadi penduduk
Jatim untuk menonton film ini.
Jalan ceritanya sendiri tentang Bayu yang menyukai Susan dan kemudan membentuk
band yang beranggotakan Doni, Yayan, Nando dimana setiap personel band memiliki
latar belakang sendiri kenapa ingin ikut dalam band tersebut. Dan band yang semula tenar di yutube kemudian
berkembang di dunia nyata, namun kehadiran Susan membuat band ini mengalami
perpecahan. Saat harus memilih, siapakah yang harus diperjuangkan , antara
cinta atau persahabatan? Itulah tema utama film ini.
Pemilihan pemain sih menurut saya secara penampilan ada yang
terlalu tua untuk pemainnya, misalnya saja seperti Bayu, Yayan, terlalu tua
untuk menjadi seorang anak SMA. Tapi mengingat ini proyek pertama, ok lah masih
bisa di terima. Setting filmnya benar benar bikin kangen, melihat Malang, Kampung
warna warni, kawasan wisata Batu, atau juga Sekolah Dempo. Yup, sekolah yang
digunakan adalah sekolah tempat saya pernah mengajar dulu, jadi ada nostalgia
dan rindu saja melihat sekolahnya. Hehehehe, saya pikir mungkin banyak orang
yang tempat tempat dia memiliki kesan baik dibuat sebagai seting juga bakalan
baper, wkwkwkwkkwkw. Biar bagaimanapun, dengan mengangkat film dengan setting Batu yang memiliki banyak tempat
wisata, maka (sangat diharapkan) kawasan wisata tersebut juga makin terkenal
secara nasional. Bukankah cara yang sama pernah terjadi kala film 5 Cm, dimana
setelah film itu booming, maka kawasan Semeru langsung menjadi tujuan wisata
yang lebih terkenal daripada sebelumnya (lengkap dengan masalah sampah yang
tiba tiba jadi menggunung dan sempat menjadi viral kala itu , hehehe)
Kalau hanya melihat trailer, dengan segera orang akan
langsung teringat film suckeed, saya pun jujur langsung teringat film dari
Thailand itu, walau sudah lupa sih jalan ceritanya seperti apa, tapi saya
berpikir, film tidak mungkin 100 persen sama. Selalu ada yang khas dari sebuah
film, layaknya suatu kehidupan social, maka berlaku prinsip ATM, yaitu Amati,
Tiru, Modifikasi, maka saya pikir film ini juga dibuat (mungkin) terinspirasi
dari film luar tapi diolah menjadi film dengan citarasa local, jadi sih
akhirnya saya tidak ambil pusing kalau film ini misalnya dianggap orang terlalu
meniru film sesuatu, setidaknya Bayu sudah mencoba untuk membuat suatu karya,
suatu karya sudah dicoba diberikan ke berbagai perusahaan namun selalu
mengalami kegagalan, baru bisa terkoneksi dengan satu PH milik Parwez Servia.
Lagu film ini yang tentang mangan pecel
juga saya merasa ada pengaruh dari lagu lagu Thailand, terkhusus music dari
suckseed itu sendiri .
Lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya, film ini setidaknya
mencoba hadir dengan gaya dan bahasa
yang berbeda untuk menjadi warna di perfilman nasional, dan cukup berhasil
kalau bagi saya.semoga setelah ini , muncul karya karya lain yang juga
menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa utama, bukan Cuma tempelan tempelan
semata. Sukses buat Bayu , ditunggu film film selanjutnya (semoga masih
berbahasa jawa juga, hehehe)!
No comments:
Post a Comment